Kamis, 26 Juni 2014

CERITA RAKYAT JAKA TINGKIR

Oleh Noel Tri Darmasto
Jaka Tingkir

            Suatu hari Ki Ageng Tingkir bermimpi, didalam mimpinya Ia mendapat wangsit supaya memetik kelapa muda dari pohon yang berada disamping rumahnya, didalam mimpinya Ia diminta supaya meminum habis air dalam kelapa muda tersebut. Karena barang siapa dapat meminum sampai habis secara langsung dalam sekali minum, kelak keturunanya akan menjadi penguasa yang besar. Setelah bangun dari tidurnya Ki Ageng bergegas menuju pohon kelapa yang ada dalam mimpinya. Perasaan heran muncul dalam benaknya, karena pohon yang semestinya belum berbuah tiba-tiba muncul satu buah kelapa muda yang cukup besar ukuranya. Karena takut ada orang lain yang akan memetiknya, Ia bergegas memanjat dan memetik kelapa tersebut.
            Ki Ageng bergegas mengupas kelapa muda tersebut, dan ingin meminumnya. Namun setelah bagian atas dari kelapa tersebut terbuka Ia melihat air kelapa yang cukup banyak. Sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam mimpinya, sehingga Ia berpikiran tidak dapat menghabiskan air kelapa tersebut dalam sekali minum, karena saat itu memang masih pagi dan Ia belum merasakan rasa haus.
Lalu Ki Ageng berinisiatif untuk menyimpan kelapa tersebut ditempat penyimpanan kayu diatas dapur rumahnya (pogo). Ia berpikiran dapat menghabiskan air kelapa tersebut dalam sekali minum setelah dirinya nanti beraktivitas seharian dan merasakan haus.
            Saat Ki Ageng Tingkir menggembalakan kerbaunya, kerabatnya dari Pajang yaitu Ki Ageng Pengging bertamu kerumahnya. Nyai Ageng Tingkir yang saat itu dirumah kebingungan untuk menjamu tamunya tersebut, karena pada saat itu belum memasak air untuk disuguhkan kepada Ki Ageng Pengging yang terlihat lelah setelah jauh melakukan perjalanan dari rumahnya.
           


Secara diam-diam ternyata Nyai Ageng Tingkir mengetahui apa yang dilakukan suaminya tadi pagi, Ia melihat Ki Ageng Tingkir mengupas kelapa dan menaruh kelapa muda tersebut ditempat penyimpanan kayu. Ia berpikiran kalau Ki Ageng Tingkir sudah mengetahui kalau Ki Ageng Pengging akan datang kerumahnya, sehingga Ia berprasangka Suaminya sengaja telah menyiapkan kelapa muda tersebut untuk disuguhkan kapada Ki Ageng Pengging.
Karena begitu haus setelah melakukan perjalanan yang sangat jauh, Ki Ageng Pengging menghabiskan air kelapa muda yang disuguhkan Nyi Ageng Tingkir dalam sekali minum.
Sore hari Ki Ageng Tingkir pulang dari menggembalakn kerbau-kerbaunya dengan rasa lelah dan sangat haus. Sesampainya dirumah Ia bergegas ingin mengambil kelapa yang disimpanya tadi pagi. namun Ia kaget melihat kelapa muda yang Ia simpan tadi sudah berada diatas meja dengan kondisi yang kosong tanpa ada sisa air kelapa didalamnya. Lalu Ia menanyakan kepada Istrinya, Nayi Ageng menjelaskan kalau kelapa muda tadi Ia suguhkan kepada Ki Ageng pengging yang baru saja bertamu kerumahnya. Karena belum begitu lama kepulangan Ki Ageng Pengging dari rumahnya, Ki Angeng Tingkir bergegas menyusul Ki Ageng Pengging yang sedang dalam pejalanan pulang.
Ki Ageng Tingkir berhasil menemui Ki Ageng Pengging saat dalam perjalanan pulang. Ia menjelaskan kepada Ki Ageng Pengging kalau kelapa muda yang diminumnya tadi bukanlah kelapa sembarangan, melainkan kelapa yang menjadi wangsit yang Ia dapat dari mimpinya, Ia juga menjelaskan bahwa barangsiapa meminum air kalapa tadi, kelak keturunanya akan mejadi seorang yang berkuasa. Oleh karena itu Ki Ageng Tingkir Berpesan kepada Ki Ageng Pengging, apabila keturunan Ki Ageng Pengging besok menjadi seorang yang berkuasa, Ia meminta supaya keturnanya juga diberikan tahta ataupun jabatan dalam kerajaan tersebut. Ki Ageng Pengging menyetujui permintaan Ki Ageng Tingkir tersebut, kemudian Ia melanjutkan perjalanan pulang.
Suatu hari Ki Ageng Pengging menggelar wayang Beber. Ia mengundang saudara-saudaranya yaitu Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang. Pada malam itu juga Nyai Ageng Pengging yang sedang hamil tua melahirkan anak laki-laki yang tampan parasnya.
Setelah bayi dibersihkan lalu dipangku oleh Ki Ageng Tingkir, Ia mengatakan kepada Ki Ageng Pengging kalau anak ini kelak akan besar derajatnya. Dan anak tersebut diberi nama Mas Karebet oleh Ki Ageng Tingkir, karena lahirnya pada saat ada pertunjukan wayang Beber.
Tidak lama kemudian Ki Ageng Tingkir meninggal dunia karena sakit. Sepuluh tahun kemudian Ki Ageng Pengging diserang oleh Sunan Kudus dan pasukan Kesultanan Demak, karena dituduh memberontak kesultanan Demak. Akibat serangan tersebut Ki Ageng Pengging tewas. Setelah kematian suaminya Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu Mas Karebet di asuh dan diambil menjadi anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir. Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang yang pandai dan gemar bertapa. Atas petunjuk dari Ibu angkatnya Kemudian Ia berguru kepada Ki Ageng Sela. Dari sana Ia menjadi orang yang sakti mandraguna dan dikenal dengan nama Jaka Tingkir.
Ketika Ki Ageng Sela sedang menyepi, mendapat wangsit kalau Jaka Tingkir kelak akan menjadi seorang pemimpin dikerajaan Demak. Lalu Ia memerintahkan Jaka supaya pergi ke Kesultanan Demak dan mengabdikan diri menjadi prajurit disana.
Sebelum berangkat menuju Kesultanan Demak Jaka Tingkir berpamitan kepada Ibunya Nyai Ageng Tingkir. Ia bercerita kepada Ibunya kalau Ki Ageng Sela yang memerintahkanya. Nyai Ageng Tingkir merestui kepergian putra angkatnya tersebut ke Demak. Ia memberi tahu kalau di Demak Ia mempunyai saudara yang bernama Ki Ganjur, Ia meminta Jaka untuk singgah disana.
Atas bantuan Ki Ganjur Jaka Tingkir berhasil diterima mengabdi kepada Sultan Demak. Kanjeng Sultan sangat kagum terhadap Jaka Tingkir, sebab berparas tampan serta sakti kedigdayaanya. Lama-kelamaan Jaka Tingkir diangkat menjadi pimpinan prajurit Tamtama yang sangat terkenal diseluruh Demak. Sultan Demak meminta Jaka Tingkir supaya tidak memegahkan diri namun senantiasa patuh kepada perintah Sultan, serta bijaksana didalam tanggung jawabnya sebagai pemimpin Prajurit Tamtama.


Suatu hari Sang Prabu berkeinginan untuk menambah prajurit Tamtama. Jaka Tingkir sebagai pemimpin diminta untuk menyeleksi dan menguji setiap pemuda yang ingin masuk menjadi prajurit Tamtama. Saat itu ada orang dari Kedu Pingit yang bernama Ki Dadung Awuk. Orang tersebut sangat sombong dengan kekuatan dan kesaktianya. Ia datang ke Demak berniat menjadi prajurit Tamtama.
Ketika dihadapan Jaka Tingkir Dadung Awuk sangat sombong, Ia tidak ingin diseleksi seperti yang lain, namun malah ingin menjajal kesaktian dari Jaka Tingkir. Karena merasa diremehkan, Jaka Tingkir sakit hati dan tidak bisa menahan emosinya sehingga Oleh Jaka Tingkir Ia ditusuk dengan Sadak. Hingga dadanya pecah lalu tewas.
Pada saat itu kematian Dadung Awuk dilaporkan kepada Sultan. Kalau Jaka Tingkir telah membunuh orang yang akan masuk menjadi prajurit Tamtama. Kanjeng Sultan sangat marah, sebab Ia adalah raja yang sangat adil. Kemudian Jaka Tingkir diusir dari Kesultanan Demak. Jaka Tingkir pergi seketika itu juga dari Demak. Orang-orang yang meliihat sangat sedih semua, teman-teman prajurit Tamtama juga menangisinya.
Jaka Tingkir lalu mengembara ke hutan dan berjalan hingga Gunung Kendeng. Disitu Ia bertemu dengan Ki Ageng Butuh. Ki Ageng belum mengetahui kalau Ia Jaka Tingkir atau Mas Karebet putra kandung dari saudaranya Ki Ageng Pengging. Setelah Ki Ageng menolong Jaka Tingkir yang sangat kelelahan. Ia bertanya kepada Jaka Tingkir mengenai asal-usulnya karena Ia melihat Jaka Tingkir mempunyai kemiripan dengan saudaranya yang telah meninggal yaitu Ki Ageng Pengging. Jaka Tingkir menceritakan kalau Ia adalah anak dari Nyai Ageng Tingkir. Dari situ Ki Ageng kaget dan yakin kalau Jaka Tingkir adalah Mas Karebet anak dari saudaranya yang bernama Ki Ageng Pengging. yang sepeninggal kedua orang tuanya Ia diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir yang tidak lain adalah Istri dari saudaranya yang bernama Ki Ageng Tingkir.
Jaka Tingkir dirawat dengan sangat baik oleh Ki Ageng butuh. Ki Ageng juga mengundang saudaranya yaitu Ki Ageng Ngerang yang kemudian juga datang kesana. Setelah diberitahu kalau Jaka Tingkir adalah anak dari Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Ngerang segera memeluk dan menangis karena saat dulu ingin menengok ke Pengging ia tidak bertemu denganya karena Jaka Tingkir sudah dibawa Ibunya ke Tingkir.
            Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang banyak sekali memberi ajaran kepada Jaka Tingkir. Setelah menyelesaikan pelajaranya Jaka Tingkir pamit kepada Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang untuk kemabali ke Kesultanan Demak. Ia beranggapan karena perginya sudah cukup lama Sultan pasti menanyakan dirinya.
            Setibanya di Demak Jaka Tingkir bertemu dengan teman sesama Prajurit Tamtama dahulu, Ia menanyakan apakah Sultan mencari atau menanyakan dirinya. Namun jawab para Tamtama, bahwa Sultan belum pernah menanyakan dirinya. Mendengar itu Jaka Tingkir sangat sedih hatinya. Lalu pamit kepada teman-temanya berniat untuk mengembara lagi.
            Didalam perjalananya Jaka Tingkir mendapat wangsit supaya pergi ke Banyu biru. Setibanya disana Ia bertemu dengan Ki Buyut Banyu Biru dan putra angkatnya yang bernama Mas Manca. Disana Jaka Tingkir diangkat menjadi putra oleh Ki Buyut. Kemudian bersaudara dengan Mas Manca.
            Setelah genap enam bulan Jaka Tingkir dan Mas Manca berguru dan mendapatkan pengajaran dari Ki Buyut Banyu Biru, Ki Buyut memerintahkan supaya Ia segera kembali ke Demak untuk menunjukan diri kepada Sultan. Ki Buyut juga memberikan tuntunan kepada Jaka Tingkir, karena saat itu sedang musim penghujan Ki Buyut mengetahui kalau Sultan pasti berada di Istana Gunung Prawata. Selain memrintahkan kepada Jaka Tingkir untuk kesana. Ia juga memberikan syarat yang bisa membuat Jaka Tingkir ditanggapi Kanjeng Sultan. Ki Buyut Banyu Biru memberikan Jaka Tingkir segenggam tanah Siti Sangar, yang sesampainya disana supaya Ia masukan ke dalam mulut Kebo Danu, yang nantinya kerbau tersebut akan mengamuk dan memporak porandakan Istana Prawata.
            Ki Buyut Banyu Biru juga menjelaskan, tidak ada seorangpun di Demak dapat membunuh kerbau tersebut. Itu yang menjadi sebab nantinya Sultan Demak akan memanggil Jaka Tingkir untuk membunuh kerbau tersebut. Karena Ia satu-satunya orang yang mengetahui kelemahan dari Kebo Danu itu, yaitu dengan mengeluarkan terlebih dahulu tanah Siti Sangar dari mulut kerbau tersebut. Yang kemudian Kebo Danu baru dapat ditaklukan.
            Dalam keberangkatan Jaka Tingkir ke Demak, Ki Buyut Banyu Biru memerintahkan Mas Manca dan kedua keponakanya yaitu Ki Wuragil dan Ki Wila supaya menemani perjalanan Jaka Tingkir sampai di Demak. Ia juga meminta Jaka Tingkir supaya ketiga orang tadi Ia jaga dan jangan sampai berpisah denganya. Karena kelak ketiga orang tadi akan membantu dirinya menjadi seorang yang berkuasa.
            Pagi hari Ki Buyut Banyu Biru dan murid-muridnya kemudian membuatkan rakit untuk Jaka Tingkir dan saudara-saudaranya. Setelah semuanya siap lalu Jaka Tingkir dan rombongannya berangkat menaiki rakit mengikuti aliran sungai Dengkeng menuju Demak. Rupanya saat itu ada anak buah dari Ki Buyut yang menjadi mata-mata gerombolan perampok yang sangat kuat dan ditakuti orang-orang di Banyu Biru. Mata-mata tersebut kemudian memberi tahu kapada gerombolanya kalau rombongan Jaka Tingkir akan melewati sungai Dengkeng untuk menuju ke Demak.
Sore hari saat melewati Kedung Srengenge mereka dihadang oleh segerombolan penjahat yang dijuluki Baya karena dianggap Bebaya atau bahaya bagi orang-orang yang melewati Kedung Srengenge.
            Raja dari Baya tersebut bernama Bau Reksa dan patihnya Jalu Mampang. Grombolan Baya tersebut menyerang rombongan Jaka Tingkir sehingga terjadi perang yang sangat dahsyat dikedung tersebut. Dalam pertarungan tersebut Jaka Tingkir terkena sabetan clurit Jalu Mampang yang membuat dadanya sobek dan membekas sebuah sayatan. Namun Jaka Tingkir tetap melawan dengan bringas sehingga pada akhirnya Jalu Mampang dan anak buahnya tewas ditangan Jaka Tingkir. Sedangkan Bau Reksa takluk dan tunduk dihadapan Mas Manca. Bau Reksa dan sisa anak buahnya akhirnya diperintahkan Jaka Tingkir untuk membantu mendorong rakit Jaka Tingkir dan rombongan sampai di Demak.
            Sesampainya di Istana Prawata, Jaka Tingkir melihat Sultan masih singgah didalam istana. Tanpa berpikir panjang Ia mencari Kebo Danu disekitar Istana Prawata. Tidak butuh waktu yang lama Jaka Tingkir mendapatkan Kebo Danu dan langsung memasukan Tanah Siti Sangar kedalam mulutnya. Kerbau itupun mengamuk dan memporakporandakan Pesanggrahan Prawata. Banyak orang-orang yang luka dan tewas akibat keganasan Kerbau itu.
            Mendengar korban yang berjatuhan akibat amukan Kebo Danu semakin banyak, Sultan meminta Prajurit Tamtama untuk membunuh kerbau itu. Kerbau itu dikeroyok dan ditusuk berbagai senjata namun tidak mempan. Amukan kerbau itu telah berlangsung hingga tiga hari tiga malam belum ada seorangpun yang berhasil menaklukan amukan Kebo Danu. Kerbau itu dimalam hari masuk kehutan kemudian siang harinya keluar lagi mengobrak-abrik pesanggrahan dan memangsa orang-orang di pesanggrahan tersebut.
            Setiap hari Sultan berlindung diatas panggung pesanggrahan sambil melihat Kebo Danu mengamuk kesana kemari tanpa ada seorangpun yang berusaha menghadapi. Sultan hanya pasrah dan berharap Kebo Danu akan pergi dengan sendirinya dari pesanggrahan Prawata. Saat itu Jaka Tingkir tampil berjalan melewati depan panggung dengan santai seolah-olah tak peduli dengan keadaan yang terjadi. Sultan yang melihat Jaka Tingkir dan rombongan kemudian memanggil abdinya yang bernama Jebad. Kemudian menyuruh Jebad supaya menemui Jaka Tingkir dan meminta Jaka supaya menaklukan Kebo Danu. Sesuai dengan perintah Sultan apabila Jaka Tingkir dapat menaklukan Kebo Danu maka kesalahanya akan diampuni dan akan diterima kembali di Kesultanan Demak.
            Jaka Tingkir saguh dengan perintah Sultan. Kemudian Ia meminta kepada orang-orang disitu supaya mengepung mengelilingi Kebo Danu. Termasuk Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila membantu mengepung kerbau itu. Perkelahian hebatpun terjadi antara Jaka Tingkir dan Kebo Danu. Sultan yang melihat pertempuran itu menyuruh supaya prajuritnya menabuh gong Monggah untuk memberi semangat kepada Jaka Tingkir.
            Perkelahian antara Jaka Tingkir dan Kebo Danu berlangsung cukup lama, orang-orang yang menyaksikan saat itu keheran-heranan. Jaka Tingkir yang berulang-ulang jatuh dan dilempar keatas kemudian diterima dengan tanduk namun tetap terlihat trengginas meskipun badanya penuh luka. Kemudian oleh Jaka Tingkir tanduk serta ekor dari Kebo Danu ditangkap, lalu dihentak. Tanah Siti Sangarpun keluar dari mulutnya, kemudian Kebo Danu ditmpeleng hingga remuk kepalanya sehingga tewas seketika, membuat  kagum serta gembira Sang Sultan dan orang-orang yang pada saat itu menyasikanya.
            Sesuai dengan janjinya Sultan Demak menganugrahi Jaka Tingkir dengan mengembalikan kedudukanya seperti dahulu yaitu sebagai pemimpin prajurit Tamtama Kerajaan Demak.
            Jaka Tingkir dihadapan Sultan sangat menghormati. Ia patuh terhadap segala hal yang diperintahkan Sultan Trenggana. Setelah beberapa tahun mengabdi sebagai pemimpin prajurit Tamtama, Jaka Tingkir dapat merubah kerajaan Demak menjadi lebih aman dan tentram sehingga membuat pikiran Sultan tenang dan nyaman. Hal itu rupanya menarik simpati Sultan terhadapnya. Oleh Sultan Trenggana, Jaka Tingkir akhirnya diangkat menjadi Bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, yaitu Putri Sultan Trenggana.
            Dibawah pemerintahan Adiwijaya kabupaten pajang berkembang dengan pesat, banyak kerajaan lain yang mulai tunduk kepada kerajaan tersebut. Sepeninggal Sultan Trenggana, putranya yang bergelar Sunan Prawoto naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang yaitu sepupunya di Jipang panolan. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Arya Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang. Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat yang merupakan adik dari Sunan Prawoto mendesak Adiwijaya agar menumpas Arya Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani yaitu kakak ipar Ki Ageng Pemanahan, Ia berhasil menyusun siasat cerdik sehingga menewaskan Arya Penangsang di tepi Bengawan Sore.
Setelah peristiwa tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta Demak kepada Adiwijaya. Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama.

Sultan Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi. Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Tahun demi tahun perjanjian terlewati, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi sultan usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan.
Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut. Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya yaitu Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa yang merupakan putra mahkota, Arya Pamalad yang merupakan  adipati Tuban, serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya.
Sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya. Pada suatu hari seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton yang merupakan putri bungsu Adiwijaya. Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang. Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.

Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba. Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.



CERITA RAKYAT JAKA TINGKIR VERSI BAHASA JAWA

Oleh Noel Tri Darmasto
Jaka Tingkir

Sawijining dina Ki Ageng Tingkir ngimpi, sajroning impene dheweke etuk wangsit supaya opek degan ijo saka wit klapa kang ono ing sandhing omahe. Sajroning impene dheweke dijaluk supaya banyu saka degan mau diombe ngasi entek. Amarga sapa sing bisa ngentekno banyu degan mau kanthi dientekno pisan, ateges ora dibolan-baleni, keturunane bakal dadi Raja utawa penguasa gedhe.
Sakwise tangi turu, Ki Ageng banjur mbuktekkake apa bener sing dikandhakake sajroning impene sewengi iku kasunyatan. Dheweke menyat saka dipan banjur mlayu niliki wit klapa ing sandhing omahe. Dheweke kaget lan gumun, jalaran wit klapa sing samesthine durung wayahe awoh dumadakan awoh degan ijo siji kang rumayan gedhe. Ki Ageng bingung, degan ijo mau diopek apa ora. Jalaran dheweke durung bisa pracaya marang impene. Dheweke duwe pamikiran menawa kadadeyan mau amung kabegjan. Banjur suwening suwe anggone mikir, dheweke wedi menawa degan mau diopek wong liya, jalaran degan mau saestu nengsemake, wohe gedhe banget ora kaya biasane. Tanpa kedawa-dawa anggone mikir degan mau banjur diopek.
Ki Ageng gage-gage ngonceki degan ijo mau, lan kepengin ngombe banyune. Ananging banjur wus dikepras ndhuwure dheweke weruh banyune kang akeh banget. Kelingan saka impene kang kudu ngenteke banyu mau kanthi sepisan ngombe dheweke rumangsa ora kuat, amarga nalika iku pancen isih esuk lan durung ngrasakno ngelak. Degan mau banjur disimpen ing Pogo ndhuwur pawon. Dheweke duwe pikiran bisa ngentekno banyu degan mau kanthi sepisan ngombe, ananging sakwise dheweke nyambut gawe sedina. banjur mesti krasa ngelak banget.
Nalika Ki Ageng Tingkir angon kebo ing sawah, sedulure kang saka Pajang yaiku Ki Ageng Pengging mertamu ing omahe. Nyai Ageng Tingkir kang nalika iku ing omah bingung anggone nyuguh tamune mau, jalaran nalika iku durung nggodhok wedang kanggo disuguhake marang Ki Ageng Pengging kang katon lungrah sakwise mlaku adoh saka daleme.

Tanpa nyana jebul Nyi Ageng Tingkir weruh apa kang kang diayahi garwane mau esuk, dheweke weruh Ki Ageng Tingkir ngonceki klapa. Banjur klapa mau disimpen ing pogo. Dheweke duwe penggalih menawa Ki Ageng Tingkir wis ngerti yen Ki Ageng Pengging arep sowan neng daleme. Pramila dheweke mikir yeng garwane sengaja nyepakake klapa mau kanggo disuguhake marang Ki Ageng Pengging.
Jalaran ngelak banget sakwise mlaku adoh banget, Ki Ageng Pengging ngunjuk banyu degan mau kanthipisanan ngombe uga nganti entek tanpa sisa.
Nalika wayah sore Ki Ageng Tingkir mulih saka angon kebo-kebone kanthi rasa ngelak banget. Sakwise tekan ngomah dheweke banjur gage njupuk degan kang disimpen mau esuk. Ananging dheweke kaget weruh degan sing disimpen mau esuk wis ana ing ndhuwur meja kanthi kosong tanpa isi banyu. Dheweke banjur takon marang garwane. Nyi Ageng Tingkir njlentrehake menawa degan mau wis disuguhake marang Ki Ageng Pengging, kang lagi wae mertamu ing omahe. Jalaran durung suwe anggone Ki Ageng Pengging kondur, banjur Ki Ageng Tingkir mlayu nyusul Ki Ageng Pengging kang lagi mlaku mulih.
Ki Ageng Tingkir bisa ketemu Ki Ageng Pengging kang lagi mlaku mulih. Dheweke njlentrehake maranng Ki Ageng Pengging menawa degan kang diunjuk mau ora mung angger degan, ananging degan kang dadi wangsit kang dheweke etuk saka impene, dheweke uga njlentrehake menawa sapa kang bisa ngombe banyu degan mau nganti entek kanthi diombe pisanan. Anak turune bakal dadi panguasa. Marga saka iku Ki Ageng Tingkir pesen, menawa anak turune Ki Ageng Pengging dadi panguasa, dheweke njaluk tulung supaya Ki Ageng Pengging sak anak turune ora lali marang Ki Ageng Tingkir. Ki Ageng Pengging Banjur pamit lan mbacutake mulih.
Sawijining dina Ki Ageng Pengging nggelar wayang beber. Dheweke ngundang sedulur-sedulure yaiku Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh lan Ki Ageng Ngerang. Nalika wengi iku uga Nyi Ageng Pengging kang lagi mbobot tuwa banjur nglaerake anak lanang kang bagus praupane.


Sakwise jabang bayi diresiki banjur dipangku Ki Ageng Tingkir, dheweke kandha marang Ki Ageng Pengging menawa sakwise gedhe anak iki bakal dadi dhuwur drajade. Saka Ki Ageng Tingkir anak lanang mau diwenehi jeneng Mas Karebet, jalaran laire nalika ana pagelaran wayang beber.
Ora suwe Ki Ageng Tingkir seda jalaran lara. Sepuluh tahun sabanjure Ki Ageng Pengging diserang Sunan Kudus lan pasukan demak, jalaran dituding mbrontak marang kasultanan Demak. Amarga serang iku Ki Ageng Pengging seda. Sakwise peninggalane, garwane yaiku Nyi Ageng Pengging gerah banjur seda uga. Wiwit iku Mas Karebet dijupuk lan di emong dening Nyi Ageng Tingkir. Mas Karebet mundhak dadi nom-noman kang pinter lan seneng mertapa. Jalaran didawuhi Ibu kuwalone dheweke banjur meguru marang Ki Ageng Sela. Saka kana dheweke banjur dadi wong sekti mandraguna lan kondhang kanthi jeneng Jaka Tingkir.
Nalika Ki Ageng Sela lagi mertapa, dheweke etuk wangsit menawa Jaka Tingkir bakal dadi pemimpin ing kesultanan Demak. Banjur dheweke dikongkon lunga menyang Kesultanan Demak lan ngabdi dadi prajurit ing kana.
Sakdurunge mangkat nuju Kasultanan Demak Jaka Tingkir pamit marang Ibune yaiku Nyi Ageng Tingkir. Dhweke matur marang Ibune menawa dheweke didawuhi Ki Ageng Sela. Nyi Ageng Tingkir menehi restu lelungan putrane mau menyang Demak. Panjenengane menehi weruh menawa ing Demak duwe sedulur kang jenenge Ki Ganjur, dheweke ngongkon Jaka Tingkir supaya sowan ing daleme panjenengane.
Jalaran pitulungan saka Ki Ganjur Jaka Tingkir bisa ditampa lan ngabdi dadi perjurit ing Kasultanan Demak. Kanjeng Sultan saestu gumun marang Jaka Tingkir, jalaran duwe praupan bagus lan sekti kadidayane. Suwening-suwe Jaka Tingkir diangkat dadi pimpinan perjurit Tamtamakang kondhang ing tlatah Demak. Kanjeng Sultan njaluk marang Jaka Tingkir supaya ora gemblung lan pamer ananging supaya tansah setya lan manut marang prentahing Sultan, uga wicaksana dadi pemimpin Perjurit Tamtama.
Sawijining dina Sultan Trenggana kepengin nambah Perjurit Tamtama. Jaka Tingkir kang dadi pemimpin dikongkon supaya nyeleksi lan nguji saben pemuda kang kepengin mlebu dadi perjurit Tamtama. Nalika iku ana nom-noman saka Kedu Pingit kang jenenge Dadungawuk. Wong mau tansah gemblung lan pamer kasektene. Dheweke menyang Demak duwe niat dadi pemimpin perjurit Tamtama.
Nalikane ing ngarep Jaka Tingkir Dadungawuk tansah gemblung, dheweke ora kepengin diseleksi kaya liyane, ananging malah nantang lan njajal kasektene Jaka Tingkir. Amarga rumangsa diece, Jaka Tingkir lara ati lan ora bisa nahan nesune, pramila Dadungawuk dituncep nganggo sadak nganti pecah dadane banjur mati saknalika.
Kadadeyan iku dikandhakake marang Sultan, menawa Jaka Tingkir mateni uwong kang kepengin mlebu perjurit Tamtama. Sultan Trenggana banjur duka marang dheweke. Jaka Tingkir banjur dikon lunga saka Demak. Saknalika iku uga Jaka Tingkir lunga Kasultanan Demak.
Jaka Tingkir banjur ngulandara ing alas lan mlaku nganti gunung Kendheng. Ing kana dheweke ketemu Ki Ageng Butuh. Ki Ageng durung ngerti menawa dheweke iku Jaka Tingkir utawa Mas Karebet anake Ki Ageng Pengging. Nalika nulungi Jaka Tingkir dheweke banjur takon babagan asale jalaran Jaka Tingkir duweni kemiripan karo sedulure kang wis seda yaiku Ki Ageng Pengging. Jaka Tingkir banjur crita menawa dheweke anake Nyi Ageng Tingkir. Saka kono Ki Ageng Butuh kaget lan yakin menawa Jaka mau Mas Karebet anak saka sedulure yaiku Ki Ageng Pengging, kang saksuwene ditinggal seda wong tuwane dheweke banjur diemong Nyi Ageng Tingkir kang ora liya bojo saka sedulure yaiku Ki Ageng Tingkir.
Jaka Tingkir diopeni lan dicukupi sakabehing kabutuhane dening Ki Ageng Butuh. Ki Ageng uga ngundang sedulure yaiku Ki Ageng Ngerang kang ora suwe banjur tindak mrono. Sakwise dikandhani menawa Jaka Tingkir iku anake Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Ngerang banjur ngekep lan nangis amarga ndhisik nalika arep tilik Jaka Tingkir ora kapethuk, jalaran wis digawa Ibune menyang Tingkir.
Ki Ageng Butuh lan Ki Ageng Ngerang wis akeh banget menehi wulangan marang Jaka Tingkir. Sakwise rampung angggone meguru marang kekalihe, Jaka Tingkir banjur banjur pamit arep bali maneh ing Kasultanan Demak, dheweke duwe pamikir jalaran wis rada suwe anggone lunga saka Demak, Sultan mesti ngarep-arep dheweke.
Bareng wis tekan Demak, Jaka Tingkir ketemu karo kanca-kancane ndhisik kang padha-padha prjurit Tamtama. Dheweke takon apa Sultan Trenggana nakokake dheweke, ananging padha semaur yen Sultan ora nakokake dheweke, malah babar pisan ora tau keprungu yen Jaka Tingkir ditakokake dening Kasultanan Demak. Krungu pawarta iku Jaka Tingkir sedih banget atine. Dheweke bajur pamit marang kanca-kancane mau banjur ngulandara maneh.
Nalika Jaka Tingkir mlaku anggone ngulandara dheweke etuk wangsit supaya lung menyang banyu biru. Sakwise tekan ing kana dheweke ketemu Ki Buyut Banyu Biru lan putra angkate yaiku Mas Manca. Ing kana Jaka Tingkir dianggep anak dening Ki Buyut Banyu Biru. Banjur disedulurake karo Mas Manca.
Sakwise ganep nem sasi anggone Jaka Tingkir lan Mas Manca meguru marang Ki Buyut Banyu Biru, loro karone banjur didawuhi supaya bali maneh marang Kasultanan Demak kanggo ngeruhake awak marang Sultan. Ki Buyut uga maring pinuntun marang Jaka Tingkir, jalaran nalika iku lagi wayah udan Ki Buyut weruh menawa Sultan mesti ing istana Prawata. Sakliyane dawuhi supaya rana, Ki Buyut menehi syarat kang bisa nggawe Jaka Tingkir ditanggepi dening Kanjeng Sultan Trenggana. Ki Buyut Banyu Biru menehi Jaka Tingkir sekepel lemah Siti Sangar, kang sakwise tekan kono supaya dilebokake ing cangkem Kebo Danu, kang bakale kebo mau ngamuk lan ngobrak-abrik Istana Prawata.
Ki Buyut uga ngandhani menawa ora ono wong siji-sijia kang bisa mateni kebo mau. Iku kang dadi sebab bakale Sultan Demak nyeluk Jaka Tingkir supaya maten Kebo mau. Amarga mung dheweke kang ngerteni kelemahane Kebo Danu iku, yaiku kanthi ngetokake dhisik lemah Siti Sangar saka ndjero cangkeme, banjur Kebo Danu lagi bisa dipateni.
Nalikane arep mangkat menyang Demak, Ki Buyut Banyu Biru dawuh marang Mas Manca uga ponakane yaiku Ki Wuragil lan Ki Wila supaya ngancani Jaka Tingkir anggone mlaku menyang Kesultanan Demak. Ki Buyut dawuh supaya katelune mau aja ngasi pisah karo dheweke, jalaran telung uwong mau kang bakal menehi pitulung marang Jaka Tingkir dadi panguasa.
Esuke Ki Buyut lan muride padha gawe gethek kanggo Jaka Tingkir lan sedulure kabeh mau. Gethek iku mau kang bakal ditunggangi Jaka Tingkir lan rombongan menyang Demak. Sakwise kabeh wis siap Jaka Tingkir lan rombongane  nunggang gethek ngetutake ilining kali Dhengkeng kang pinuju marang tlatah Demak.Nalika mangkate rombongan iku jebul ana mata-mata saka rombongan grayak kang kuat lan kondhang diwedeni dening uwong-uwong. Mata-mata mau banjur ngandhani grombolane menawa Jaka Tingkir lan rombongane arep ngliwati kali Dhengkeng kanggo nuju ing Demak.
Nalika wayah sore Jaka Tingkir lan rombongane ngliwati kedung Srengenge. Ing kono rombongan mau diadang dening grombolan grayak kang sinebut Baya, jalaran dianggep bebaya dening sakabehing uwong kang liwat ing kedung srengenge.
Raja saka Baya mau jenenge Bau Reksa lan patihe Jalu Mampang. Grombolan mau banjur nyerang Jaka Tingkir lan rombongane saengga kadadeyan perang gedhe banget ing kedung kono mau. Nalika perang iku Jaka Tingkir kena sabetan clurit saka Jalu Mampang kang gawe dadhane suwek lan tatu. Ananging  Jaka Tingkir tetep nglawan kanthi bringas saengga Jalu Mampang lan punggawane mati ing tangane Jaka Tingkir. Dene Bau Reksa lan sisa punggawane tunduk ing ngarepe Mas Manca. Bau Reksa lan pungawane banjur diprentah dening Jaka Tingkir supaya nyurung gethek kang ditunggangi dheweke lan rombongan nganti tekan Demak.
Sakwise tekan Istana Prawata, Jaka Tingkir weruh Sultan kang isih lenggah ing sajroning istana. Tanpa mikir suwe-suwe dheweke golek Kebo Danu ing sakiwa tengene istana kono. Ora butuh wektu suwe dheweke etuk kebo iku, banjur dilebokake lemah siti sangar ing jero cangkem kebo mau. Kebo Danu banjur ngamuk lan ngosak-asik penggrahan Prawata. Akeh uwong kang tatu malah ana uga kang ngasi mati jalaran jalaran disruduk kebo Danu mau.
Mireng para korban amukan Kebo Danu tansaya akeh, Sultan  dawuh marang prajurit Tamtama supaya mateni kebo iku. Kebo Danu banjur dikeroyok lan dituncep sawerananig gaman ananging ora mempan. Amukan kebo iku wis ngasi telung dina telung wengi ananging durung ana uwong siji ae kang bisa mateni kebo iku.
Saben dina Sultan Trenggana amung ing ndhuwur panggung pasanggrahan karo nyawang Kebo Danu ngamuk mrana-mrene tanpa ana uwong kang ngadhepi. Sultan amung bisa pasrah lan ngarep Kebo Danu bakal lunga dhewe saka pesanggrahan Prawata.

Nalika iku Jaka Tingkir mlaku ngliwati ngarep panggung kang dadi pasanggrahane Sultan Trenggana. Dheweke mlaku kanthi nglenggana kaya-kaya ora perduli marang kahanan nalika iku. Sultan kang pirsa Jaka Tingkir lan Rombongan banjur dawuh marang abdine supaya nemoni Jaka Tingkir lan jaluk pitulungane supaya mateni Kebo Danu. Sarujuk marang dawuhe Sultan menawa bisa mateni Kebo Danu dheweke bakal dingapurani kesalahane  banjur ditampa maneh ing Kasultanan Demak.
Jaka Tingkir saguh marang dawuhe Sultan. Dheweke banjur jaluk tulung marang perjurit ing kono supaya ngepung ngubengi Kebo Danu. Mas Manca, Ki Wuragil lan Ki Wila uga ngewangi ngepung kebo mau. Perang kang hebat kadadeyan nalika gelute Jaka Tingkir lan Kebo Danu. Sultan kang mirsani perang iku banjur dawuh marang perjurit supaya nabuh gong Monggah kanggo menehi semangat marang Jaka Tingkir.
Perang tandhing antarane Jaka Tingkir lan Kebo Danu lumaku suwe banget, uwong-uwong kang padha ndelok nalika iku tansah keweden. Jaka Tingkir kang bola-bali tiba lan diuncalake ing ndhuwur banjur ditampa nganggo sungu  ananging tetep kato trengginas sanajan awake kebak tatu. Saka Jaka Tingkir sungu lan buntute Kebo Danu dicekel banjur dibanting ing lemah, lemah siti sangar banjur metu saka cangkeme Kebo Danu. Sakwise iku Kebo Danu banjur ditempeleng sirahe nganti remuklan mati saknalika, lan gawe bungahing uwong-uwong ing kono.
Kanthi pasarujukan ing ngarep Sultan Trenggana banjur menehi kanugrahan marang Jaka Tingkir. Dheweke banjur diangkat maneh dadi pemimpin Perjurit Tamtama ing kasultanan Demak.
Jaka Tingkir ngurmati banget marang Sultan. Dheweke manut lan patuh marang apa wae kang dadi dawuhe Sultan. Sakwise seperangan taun ngabdi dadi perjurit Tamtama, Jaka Tingkir bisa gawe kasultanan Demak tansah ayem tentrem. Pramila Sultan Trenggana banjur ngangkat Jaka Tingkir dadi Bupati Pajang kanthi gelar Adipati Hadiwijaya. Dheweke uga dinikahake karo Ratu Mas Cempaka yaiku putri Sultan Trenggana.
Ing pamarintahane Hadiwijaya kabupaten Pajang tansah jaya lan makmur sajroning wektu kang ora suwe. Merga saka iku akeh kasultanan liya kang tunduk marang kerajaan Pajang.
Sakwise Sultan Trenggana seda, putrane kang duwe gelar Sunan Prawoto banjur diangkat dadi raja ing kasultanan Demak. Nanging sajroning wektu kang ora suwe panjenengane seda jalaran dipateni Arya Panangsang yaiku ponakane ing Jipang Panolan. Arya Panangsang uga mateni Pangeran Kalinyamat yaiku mantune Sultan Trenggana ingkang dadi bupati ing Jepara.
            Arya Penangsang banjur ngutus perjurite kanggo mateni Hadiwijaya ing Pajang, ananging gagal. Hadiwijaya malah nyuguh pejurit Arya Panangsang mau kanthi sesuguhan kang akeh banget. Uga menehi hadiah kanggo ngisin-isin Arya Panangsang. Sak peninggalane garwane Ratu Kalinyamat dhawuh marang Hadiwijaya supaya ndang gage mateni Arya Panangsang, jalaran amung dheweke kang setara kasektene karo Adipati Jipang iku. Hadiwijaya ora gelem perang tandhing adep-adepan karo Arya Pangsang jalaran isih padha-padha sedulur ing Demak. Hadiwijaya banjur nganakake sayembara yaiku sapa sing bisa mateni Arya Panangsang bakal diwenehi tanah pati lan mataram.
            Sayembara iku dieloni dening putune Ki Ageng Sela yaiku Ki Ageng Pamanahan lan Ki Ageng Panjawi. Sajroning perang iku Ki Juru Martani yaiku kang kakange Ki Ageng Pamanahan bisa mateni Arya Panangsang ing sapinggiring Bengawan sore.
            Sakwise prastawa iku Ratu Kalinyamat banjur menehake tahta Demak marang Hadiwijaya. Pusat kasultanan banjur dipindah ing Pajang kanthi Hadiwijaya kang dadi sultan sepisanan.
            Sultan Hadiwijaya uga ngangkat sedulur-sedulur seperjuangane ing sajroning pamarentahan. Mas Manca didadekake patih kanthi gelar Patih Mancanegara, dene Mas Wila lan Ki Wuragil didadekake mentri kanthi pangkat gelar ngabehi. Manut pasarujukan ing sayembara, Ki Panjawi etuk tanah Pati kanthi gelar Ki Ageng Pati. Dene Ki Ageng Pamanahan isih nunggu, jalaran Hadiwijaya kaya-kaya isih nggondheli tanah mataram.
            Taun ganti taun janjining hadiah tanah mataram maraing Ki Ageng Pamanahan kaliwatan. Dene Ki Ageng Pamanahan ora wani anggone nagih. Sunan Kalijaga kang dadi guruning kekalihe banjur tampil dadi panengah. Jebul alesan Hadiwijaya ora ndang gage menehake tanah mataram marang Ki Ageng Pamanahan jalaran dheweki wedi krungu ramalaning Sunan Praapen menawa ing mataram bakal laer Kasultanan gedhe kang bakal ngalahake Kasultanan Pajang.
            Sunan Kalijaga dhawuh marang Hadiwijaya supaya ndang gage menehake tanah mataram. Dene kosok balene Ki Ageng Pamanahan diwajibake sumpah setya marang kasultanan Pajang. Ki Ageng Pamanahan tansah sendika dhawuh, banjur Hadiwijaya menehake tanah mataram kasebut marang Kakange iku.
            Tanah mataram kang nalika iku isih katutup alas mentaok banjur dibuka dening Ki Ageng Pamanahan lan Ki Juru Martani. Akhire Ki Ageng Pamanahan duweni gelar Ki Ageng Mataram, dhewekebanjur diwajibake kanthi ajeg ngadep marang kesultanan Demak menawa bukti kasetyan.
            Sunan Prapen kang ketemu Ki Ageng Pamanahan banjur ngandhani menawa kasultanan Pajang bakal dikalahke Mataram dening keturunan panjenengane.
            Sutawijaya yaiku putrane Ki Ageng Pamanahan kang uga dadi anak angkate Sultan Hadiwijaya. Sakwise Ki Ageng Pamanahan seda Sutawijaya banjur dadi panguasa anyar ing mataram.
            Wis luwih saka setaun Sutawijaya ora ngadhep marang Kasultanan Pajang. Hadiwijaya banjur dawuh marang Ki Wila lan Ki Wuragil supaya nakokake kasetyaning mataram. Kekalihe mau banjur nemoni Sutawijaya ing Mfataram, ananging anggone nampa kekelihe mertamu mau Sutawijaya katon tanpa tata krama, malah sajak mbrontak marang Kasultanan Pajang.
            Hadiwijaya banjur nampa laporane Ki Wila lan Ki Wuragil babagan Sutawijaya kang katon mbrontak lan ora mbelnjani janji kasetyan marang Hadiwijaya. Mireng menawa Kasultanan Mataram tansaya gedhe, dheweke banjur dawuh maneh kanggo nakokake kasetyaning Sutawijaya. Nalika iku kang diutus yaiku Pangeran Benawa, Arya Pamalad lan Patih Mancanegara.
            Sakwise kundur saka Mataram Arya Pamalad nglaporake sakabehing tumindak ala Sutawijaya marang Hadiwijaya. Sawijining dina ponakane Sutawijaya kang jenenge Raden Pabelan, diukum mati jalaran nyusup ing dalem keputrian nemoni Ratu Sekar Kedaton kang ora liya putri ragil Hadiwijaya. Bapake Raden Pabelan yaiku Tumenggung Mayang diukum guwak, jalaran ngewang-ewangi putrane mau. IbuRaden Pabelan minangka adhine Sutawijaya banjur njaluk tulung marang Mataram. Sutawijaya banjur dhawuh marang perjurite supaya ngkrebutTumenggung Mayang nalika arep diguwak ing Semarang. Merga saka tumindake Sutawijya kang kaya mankono iku Hadiwijya banjur nyerang Kasultanan Mataram. Ananging pasukan Pajang kang luwih akeh ngalami kekalahan, jalaran nalika iku Gunung Merapi ngetokake lahar kang banjur nerjang pasukane kang lagi perang ing wilayah Gunung iku. Hadiwijaya banjur bisa dikalahake dening Sutawijaya, Hadiwijaya alias Jaka Tingkir akhire seda, Panjenengane banjur disarekake ing desa Butuh, yaiku dusun Ibu asline.















Fungsi Pelaku

1.        Seorang daripada ahli keluarga pergi meninggalkan rumah.
Sebelum berangkat menuju Kesultanan Demak Jaka Tingkir berpamitan kepada Ibunya Nyai Ageng Tingkir. Ia bercerita kepada Ibunya kalau Ki Ageng Sela yang memerintahkanya. Nyai Ageng Tingkir merestui kepergian putra angkatnya tersebut ke Demak.
2.             Satu larangan diucapkan kepada wira.
Lama-kelamaan Jaka Tingkir diangkat menjadi pimpinan prajurit Tamtama yang sangat terkenal diseluruh Demak. Sultan Demak meminta Jaka Tingkir supaya tidak memegahkan diri namun senantiasa patuh kepada perintah Sultan, serta bijaksana didalam tanggung jawabnya sebagai pemimpin Prajurit Tamtama.
3.             Larangan dilanggar.
Ketika dihadapan Jaka Tingkir Dadung Awuk sangat sombong, Ia tidak ingin diseleksi seperti yang lain, namun malah ingin menjajal kesaktian dari Jaka Tingkir. Karena merasa diremehkan, Oleh Jaka Tingkir Ia ditusuk dengan Sadak. Hingga dadanya pecah lalu tewas. Pada saat itu kematian Dadung Awuk dilaporkan kepada Sultan.
4.             Penjarah membuat percobaan untuk meninjau
Rupanya saat itu ada anak buah dari Ki Buyut yang menjadi mata-mata gerombolan perampok yang sangat kuat dan ditakuti orang-orang di Banyu Biru.
5.             Penjarah menerima maklumat tentang mangsanya
Mata-mata tersebut kemudian memberi tahu kapada gerombolanya kalau rombongan Jaka Tingkir akan melewati sungai Dengkeng untuk menuju ke Demak.
6.             Penjarah mencoba memperdaya mangsanya dengan tujuan untuk memilikinya atau memiliki kepunyaanya.
 Sore hari saat melewati Kedung Srengenge mereka dihadang oleh segerombolan penjahat yang dijuluki Baya karena dianggap Bebaya atau bahaya bagi orang-orang yang melewati Kedung Srengenge. Raja dari Baya tersebut bernama Bau Reksa dan patihnya Jalu Mampang. Grombolan Baya tersebut menyerang rombongan Jaka Tingkir sehingga terjadi perang yang sangat dahsyat dikedung tersebut. Jalu Mampang dan anak buahnya akhirnya tewas ditangan Mas Manca. Sedangkan Bau Reksa takluk dan tunduk dihadapan Jaka Tingkir.
7.             Wira meninggalkan rumah
Pagi hari Ki Buyut Banyu Biru dan murid-muridnya kemudian membuatkan rakit untuk Jaka Tingkir dan saudara-saudaranya. Setelah semuanya siap lalu Jaka Tingkir dan rombongannya berangkat menaiki rakit mengikuti aliran sungai Dengkeng menuju Demak.
8.             Wira diuji, disoal, diserang yang menyediakan wira kearah penerimaan sama ada seseuatu alat magis atau pembantu.
Sore hari saat melewati Kedung Srengenge mereka dihadang oleh segerombolan penjahat yang dijuluki Baya karena dianggap Bebaya atau bahaya bagi orang-orang yang melewati Kedung Srengenge.
9.             Wira memperoleh agen sakti
Ki Buyut Banyu Biru memberikan Jaka Tingkir segenggam tanah Siti Sangar, yang sesampainya disana supaya Ia masukan ke dalam mulut Kebo Danu, yang nantinya kerbau tersebut akan mengamuk dan memporak porandakan Istana Prawata.
10.         Wira dipindahkan, disampaikan atau dipandu ke tempat-tempat terdapatnya objek yang dicari.
Ki Buyut memberikan tuntunan kepada Jaka Tingkir, karena saat itu sedang musim penghujan Ki Buyut mengetahui kalau Sultan pasti berada di Istana Gunung Prawata.

11.         Wira dan penjarah terlibat dalam pertarungan
Sore hari saat melewati Kedung Srengenge mereka dihadang oleh segerombolan penjahat yang dijuluki Baya karena dianggap Bebaya atau bahaya bagi orang-orang yang melewati Kedung Srengenge.Raja dari Baya tersebut bernama Bau Reksa dan patihnya Jalu Mampang. Grombolan Baya tersebut menyerang rombongan Jaka Tingkir sehingga terjadi perang yang sangat dahsyat dikedung tersebut.
12.         Penjarah ditewaskan
Jalu Mampang dan anak buahnya akhirnya tewas ditangan Mas Manca. Sedangkan Bau Reksa takluk dan tunduk dihadapan Jaka Tingkir.
13.         Seorang ahli keluarga sama ada kekurangan atau ingin memiliki sesuatu.
Karena merasa diremehkan, Jaka Tingkir sakit hati dan tidak bisa menahan emosinya sehingga Oleh Jaka Tingkir Dadungawuk ditusuk dengan Sadak. Hingga dadanya pecah lalu tewas.
14.         Penjarah menyebabkan kesusahan atau kecederaan kepada seorang ahli didalam sebuah keluarga.
Dalam pertarungan tersebut Jaka Tingkir terkena sabetan clurit Jalu Mampang yang membuat dadanya sobek. Namun Jaka Tingkir tetap melawan dengan beringas sehingga pada akhirnya Jalu Mampang dan anak buahnya tewas ditangan Jaka Tingkir.
15.         Kecelakaan atau kekurangan dimaklumkan, Wira diminta atau diperintah, Ia dibenarkan pergi atau Ia diutuskan.
Setelah genap enam bulan Jaka Tingkir dan Mas Manca berguru dan mendapatkan pengajaran dari Ki Buyut Banyu Biru, Ki Buyut memerintahkan supaya Ia segera kembali ke Demak untuk menunjukan diri kepada Sultan.
16.         Pencari bersetuju atau memutuskan untuk bertindak balas.
Sesampainya di Istana Prawata, Jaka Tingkir melihat Sultan masih singgah didalam istana. Tanpa berpikir panjang Ia mencari Kebo Danu disekitar Istana Prawata. Tidak butuh waktu yang lama Jaka Tingkir mendapatkan Kebo Danu dan langsung memasukan Tanah Siti Sangar kedalam mulutnya. Kerbau itupun mengamuk dan memporakporandakan Pesanggrahan Prawata. Banyak orang-orang yang luka dan tewas akibat keganasan Kerbau itu.
17.         Wira bertindak balas kepada tindakan-tindakan bakal pemberi.
Bau Reksa dan sisa anak buahnya akhirnya diperintahkan Jaka Tingkir untuk membantu mendorong rakit Jaka Tingkir dan rombongan sampai di Demak.
18.         Wira ditandai
Dalam pertarungan tersebut Jaka Tingkir terkena sabetan clurit Jalu Mampang yang membuat dadanya sobek dan membekas sebuah sayatan.
19.         Wira pulang
Sesuai dengan janjinya Sultan Demak menganugrahi Jaka Tingkir dengan mengembalikan kedudukanya seperti dahulu yaitu sebagai pemimpin prajurit Tamtama Kerajaan Demak.
20.         Kecelakaan atau kekurangan awal diatasi
Jaka Tingkir yang berulang-ulang jatuh dan dilempar keatas kemudian diterima dengan tanduk namun tetap terlihat trengginas meskipun badanya penuh luka. Kemudian oleh Jaka Tingkir tanduk serta ekor dari Kebo Danu ditangkap, lalu dihentak. Tanah Siti Sangarpun keluar dari mulutnya, kemudian Kebo Danu ditmpeleng hingga remuk kepalanya sehingga tewas seketika.
21.         Wira berkawin dan menaiki tahta.
Oleh Sultan Trenggana, Jaka Tingkir akhirnya diangkat menjadi Bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, yaitu Putri Sultan Trenggana.
22.         Wira dikejar.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba. Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
23.         Tugas Diselesaikan
Sesuai dengan janjinya Sultan Demak menganugrahi Jaka Tingkir dengan mengembalikan kedudukanya seperti dahulu yaitu sebagai pemimpin prajurit Tamtama Kerajaan Demak.

















Motif Cerita

1.      Peperangan
a.      Ketika dihadapan Jaka Tingkir Dadung Awuk sangat sombong, Ia tidak ingin diseleksi seperti yang lain, namun malah ingin menjajal kesaktian dari Jaka Tingkir. Karena merasa diremehkan, Jaka Tingkir sakit hati dan tidak bisa menahan emosinya sehingga Oleh Jaka Tingkir Ia ditusuk dengan Sadak. Hingga dadanya pecah lalu tewas.
b.      Sore hari saat melewati Kedung Srengenge mereka dihadang oleh segerombolan penjahat yang dijuluki Baya karena dianggap Bebaya atau bahaya bagi orang-orang yang melewati Kedung Srengenge.
Raja dari Baya tersebut bernama Bau Reksa dan patihnya Jalu Mampang. Grombolan Baya tersebut menyerang rombongan Jaka Tingkir sehingga terjadi perang yang sangat dahsyat dikedung tersebut. Dalam pertarungan tersebut Jaka Tingkir terkena sabetan clurit Jalu Mampang yang membuat dadanya sobek dan membekas sebuah sayatan. Namun Jaka Tingkir tetap melawan dengan bringas sehingga pada akhirnya Jalu Mampang dan anak buahnya tewas ditangan Jaka Tingkir. Sedangkan Bau Reksa takluk dan tunduk dihadapan Mas Manca. Bau Reksa dan sisa anak buahnya akhirnya diperintahkan Jaka Tingkir untuk membantu mendorong rakit Jaka Tingkir dan rombongan sampai di Demak.
c.       Perkelahian antara Jaka Tingkir dan Kebo Danu berlangsung cukup lama, orang-orang yang menyaksikan saat itu keheran-heranan. Jaka Tingkir yang berulang-ulang jatuh dan dilempar keatas kemudian diterima dengan tanduk namun tetap terlihat trengginas meskipun badanya penuh luka. Kemudian oleh Jaka Tingkir tanduk serta ekor dari Kebo Danu ditangkap, lalu dihentak. Tanah Siti Sangarpun keluar dari mulutnya, kemudian Kebo Danu ditmpeleng hingga remuk kepalanya sehingga tewas seketika, membuat  kagum serta gembira Sang Sultan dan orang-orang yang pada saat itu menyasikanya.
d.      Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang. Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba. Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
2.      Pengembaraan
a.    Jaka Tingkir lalu mengembara ke hutan dan berjalan hingga Gunung Kendeng. Disitu Ia bertemu dengan Ki Ageng Butuh. Ki Ageng belum mengetahui kalau Ia Jaka Tingkir atau Mas Karebet putra kandung dari saudaranya Ki Ageng Pengging. Setelah Ki Ageng menolong Jaka Tingkir yang sangat kelelahan. Ia bertanya kepada Jaka Tingkir mengenai asal-usulnya karena Ia melihat Jaka Tingkir mempunyai kemiripan dengan saudaranya yang telah meninggal yaitu Ki Ageng Pengging. Jaka Tingkir menceritakan kalau Ia adalah anak dari Nyai Ageng Tingkir. Dari situ Ki Ageng kaget dan yakin kalau Jaka Tingkir adalah Mas Karebet anak dari saudaranya yang bernama Ki Ageng Pengging. yang sepeninggal kedua orang tuanya Ia diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir yang tidak lain adalah Istri dari saudaranya yang bernama Ki Ageng Tingkir.
b.    Setibanya di Demak Jaka Tingkir bertemu dengan teman sesama Prajurit Tamtama dahulu, Ia menanyakan apakah Sultan mencari atau menanyakan dirinya. Namun jawab para Tamtama, bahwa Sultan belum pernah menanyakan dirinya. Mendengar itu Jaka Tingkir sangat sedih hatinya. Lalu pamit kepada teman-temanya berniat untuk mengembara lagi. Didalam perjalananya Jaka Tingkir mendapat wangsit supaya pergi ke Banyu biru. Setibanya disana Ia bertemu dengan Ki Buyut Banyu Biru dan putra angkatnya yang bernama Mas Manca. Disana Jaka Tingkir diangkat menjadi putra oleh Ki Buyut. Kemudian bersaudara dengan Mas Manca.
3.      Percintaan
Setelah beberapa tahun mengabdi sebagai pemimpin prajurit Tamtama, Jaka Tingkir dapat merubah kerajaan Demak menjadi lebih aman dan tentram sehingga membuat pikiran Sultan tenang dan nyaman. Hal itu rupanya menarik simpati Sultan terhadapnya. Oleh Sultan Trenggana, Jaka Tingkir akhirnya diangkat menjadi Bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, yaitu Putri Sultan Trenggana.












DAFTAR PUSTAKA

  • Narasumber, Bp. Tri Joko. Guru Bahasa Jawa SMA Negeri 1 Cepogo Boyolali
  • Morfologi Cerita Rakyat. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementrian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur 1987