Oleh Noel
Tri Darmasto
Jaka
Tingkir
Suatu hari Ki Ageng Tingkir
bermimpi, didalam mimpinya Ia mendapat wangsit supaya memetik kelapa muda dari
pohon yang berada disamping rumahnya, didalam mimpinya Ia diminta supaya
meminum habis air dalam kelapa muda tersebut. Karena barang siapa dapat meminum
sampai habis secara langsung dalam sekali minum, kelak keturunanya akan menjadi
penguasa yang besar. Setelah bangun dari tidurnya Ki Ageng bergegas menuju
pohon kelapa yang ada dalam mimpinya. Perasaan heran muncul dalam benaknya,
karena pohon yang semestinya belum berbuah tiba-tiba muncul satu buah kelapa
muda yang cukup besar ukuranya. Karena takut ada orang lain yang akan
memetiknya, Ia bergegas memanjat dan memetik kelapa tersebut.
Ki Ageng bergegas mengupas kelapa
muda tersebut, dan ingin meminumnya. Namun setelah bagian atas dari kelapa
tersebut terbuka Ia melihat air kelapa yang cukup banyak. Sesuai dengan apa
yang diperintahkan dalam mimpinya, sehingga Ia berpikiran tidak dapat
menghabiskan air kelapa tersebut dalam sekali minum, karena saat itu memang
masih pagi dan Ia belum merasakan rasa haus.
Lalu Ki Ageng berinisiatif untuk menyimpan kelapa tersebut ditempat
penyimpanan kayu diatas dapur rumahnya (pogo). Ia berpikiran dapat menghabiskan
air kelapa tersebut dalam sekali minum setelah dirinya nanti beraktivitas
seharian dan merasakan haus.
Saat Ki Ageng Tingkir menggembalakan
kerbaunya, kerabatnya dari Pajang yaitu Ki Ageng Pengging bertamu kerumahnya.
Nyai Ageng Tingkir yang saat itu dirumah kebingungan untuk menjamu tamunya tersebut,
karena pada saat itu belum memasak air untuk disuguhkan kepada Ki Ageng
Pengging yang terlihat lelah setelah jauh melakukan perjalanan dari rumahnya.
Secara diam-diam ternyata Nyai Ageng Tingkir mengetahui apa yang
dilakukan suaminya tadi pagi, Ia melihat Ki Ageng Tingkir mengupas kelapa dan
menaruh kelapa muda tersebut ditempat penyimpanan kayu. Ia berpikiran kalau Ki
Ageng Tingkir sudah mengetahui kalau Ki Ageng Pengging akan datang kerumahnya,
sehingga Ia berprasangka Suaminya sengaja telah menyiapkan kelapa muda tersebut
untuk disuguhkan kapada Ki Ageng Pengging.
Karena begitu haus setelah melakukan perjalanan yang sangat jauh, Ki
Ageng Pengging menghabiskan air kelapa muda yang disuguhkan Nyi Ageng Tingkir
dalam sekali minum.
Sore hari Ki Ageng Tingkir pulang dari menggembalakn kerbau-kerbaunya
dengan rasa lelah dan sangat haus. Sesampainya dirumah Ia bergegas ingin
mengambil kelapa yang disimpanya tadi pagi. namun Ia kaget melihat kelapa muda
yang Ia simpan tadi sudah berada diatas meja dengan kondisi yang kosong tanpa
ada sisa air kelapa didalamnya. Lalu Ia menanyakan kepada Istrinya, Nayi Ageng
menjelaskan kalau kelapa muda tadi Ia suguhkan kepada Ki Ageng pengging yang
baru saja bertamu kerumahnya. Karena belum begitu lama kepulangan Ki Ageng
Pengging dari rumahnya, Ki Angeng Tingkir bergegas menyusul Ki Ageng Pengging
yang sedang dalam pejalanan pulang.
Ki Ageng Tingkir berhasil menemui Ki Ageng Pengging saat dalam
perjalanan pulang. Ia menjelaskan kepada Ki Ageng Pengging kalau kelapa muda
yang diminumnya tadi bukanlah kelapa sembarangan, melainkan kelapa yang menjadi
wangsit yang Ia dapat dari mimpinya, Ia juga menjelaskan bahwa barangsiapa
meminum air kalapa tadi, kelak keturunanya akan mejadi seorang yang berkuasa.
Oleh karena itu Ki Ageng Tingkir Berpesan kepada Ki Ageng Pengging, apabila
keturunan Ki Ageng Pengging besok menjadi seorang yang berkuasa, Ia meminta
supaya keturnanya juga diberikan tahta ataupun jabatan dalam kerajaan tersebut.
Ki Ageng Pengging menyetujui permintaan Ki Ageng Tingkir tersebut, kemudian Ia
melanjutkan perjalanan pulang.
Suatu hari Ki Ageng Pengging menggelar wayang Beber. Ia mengundang
saudara-saudaranya yaitu Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang.
Pada malam itu juga Nyai Ageng Pengging yang sedang hamil tua melahirkan anak
laki-laki yang tampan parasnya.
Setelah bayi dibersihkan lalu dipangku oleh Ki Ageng Tingkir, Ia
mengatakan kepada Ki Ageng Pengging kalau anak ini kelak akan besar derajatnya.
Dan anak tersebut diberi nama Mas Karebet oleh Ki Ageng Tingkir, karena
lahirnya pada saat ada pertunjukan wayang Beber.
Tidak lama kemudian Ki Ageng Tingkir meninggal dunia karena sakit.
Sepuluh tahun kemudian Ki Ageng Pengging diserang oleh Sunan Kudus dan pasukan
Kesultanan Demak, karena dituduh memberontak kesultanan Demak. Akibat serangan
tersebut Ki Ageng Pengging tewas. Setelah kematian suaminya Nyai Ageng Pengging
jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu Mas Karebet di asuh dan diambil
menjadi anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir. Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda
yang yang pandai dan gemar bertapa. Atas petunjuk dari Ibu angkatnya Kemudian
Ia berguru kepada Ki Ageng Sela. Dari sana Ia menjadi orang yang sakti
mandraguna dan dikenal dengan nama Jaka Tingkir.
Ketika Ki Ageng Sela sedang menyepi, mendapat wangsit kalau Jaka
Tingkir kelak akan menjadi seorang pemimpin dikerajaan Demak. Lalu Ia
memerintahkan Jaka supaya pergi ke Kesultanan Demak dan mengabdikan diri
menjadi prajurit disana.
Sebelum berangkat menuju Kesultanan Demak Jaka Tingkir berpamitan
kepada Ibunya Nyai Ageng Tingkir. Ia bercerita kepada Ibunya kalau Ki Ageng
Sela yang memerintahkanya. Nyai Ageng Tingkir merestui kepergian putra
angkatnya tersebut ke Demak. Ia memberi tahu kalau di Demak Ia mempunyai
saudara yang bernama Ki Ganjur, Ia meminta Jaka untuk singgah disana.
Atas bantuan Ki Ganjur Jaka Tingkir berhasil diterima mengabdi kepada
Sultan Demak. Kanjeng Sultan sangat kagum terhadap Jaka Tingkir, sebab berparas
tampan serta sakti kedigdayaanya. Lama-kelamaan Jaka Tingkir diangkat menjadi
pimpinan prajurit Tamtama yang sangat terkenal diseluruh Demak. Sultan Demak
meminta Jaka Tingkir supaya tidak memegahkan diri namun senantiasa patuh kepada
perintah Sultan, serta bijaksana didalam tanggung jawabnya sebagai pemimpin
Prajurit Tamtama.
Suatu hari Sang Prabu berkeinginan untuk menambah prajurit Tamtama.
Jaka Tingkir sebagai pemimpin diminta untuk menyeleksi dan menguji setiap
pemuda yang ingin masuk menjadi prajurit Tamtama. Saat itu ada orang dari Kedu
Pingit yang bernama Ki Dadung Awuk. Orang tersebut sangat sombong dengan
kekuatan dan kesaktianya. Ia datang ke Demak berniat menjadi prajurit Tamtama.
Ketika dihadapan Jaka Tingkir Dadung Awuk sangat sombong, Ia tidak
ingin diseleksi seperti yang lain, namun malah ingin menjajal kesaktian dari
Jaka Tingkir. Karena merasa diremehkan, Jaka Tingkir sakit hati dan tidak bisa
menahan emosinya sehingga Oleh Jaka Tingkir Ia ditusuk dengan Sadak. Hingga
dadanya pecah lalu tewas.
Pada saat itu kematian Dadung Awuk dilaporkan kepada Sultan. Kalau
Jaka Tingkir telah membunuh orang yang akan masuk menjadi prajurit Tamtama.
Kanjeng Sultan sangat marah, sebab Ia adalah raja yang sangat adil. Kemudian
Jaka Tingkir diusir dari Kesultanan Demak. Jaka Tingkir pergi seketika itu juga
dari Demak. Orang-orang yang meliihat sangat sedih semua, teman-teman prajurit
Tamtama juga menangisinya.
Jaka Tingkir lalu mengembara ke hutan dan berjalan hingga Gunung
Kendeng. Disitu Ia bertemu dengan Ki Ageng Butuh. Ki Ageng belum mengetahui
kalau Ia Jaka Tingkir atau Mas Karebet putra kandung dari saudaranya Ki Ageng
Pengging. Setelah Ki Ageng menolong Jaka Tingkir yang sangat kelelahan. Ia
bertanya kepada Jaka Tingkir mengenai asal-usulnya karena Ia melihat Jaka
Tingkir mempunyai kemiripan dengan saudaranya yang telah meninggal yaitu Ki
Ageng Pengging. Jaka Tingkir menceritakan kalau Ia adalah anak dari Nyai Ageng
Tingkir. Dari situ Ki Ageng kaget dan yakin kalau Jaka Tingkir adalah Mas
Karebet anak dari saudaranya yang bernama Ki Ageng Pengging. yang sepeninggal kedua
orang tuanya Ia diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir yang tidak lain adalah Istri
dari saudaranya yang bernama Ki Ageng Tingkir.
Jaka Tingkir dirawat dengan sangat baik oleh Ki Ageng butuh. Ki Ageng
juga mengundang saudaranya yaitu Ki Ageng Ngerang yang kemudian juga datang
kesana. Setelah diberitahu kalau Jaka Tingkir adalah anak dari Ki Ageng
Pengging, Ki Ageng Ngerang segera memeluk dan menangis karena saat dulu ingin
menengok ke Pengging ia tidak bertemu denganya karena Jaka Tingkir sudah dibawa
Ibunya ke Tingkir.
Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang
banyak sekali memberi ajaran kepada Jaka Tingkir. Setelah menyelesaikan
pelajaranya Jaka Tingkir pamit kepada Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang untuk
kemabali ke Kesultanan Demak. Ia beranggapan karena perginya sudah cukup lama
Sultan pasti menanyakan dirinya.
Setibanya di Demak Jaka Tingkir
bertemu dengan teman sesama Prajurit Tamtama dahulu, Ia menanyakan apakah
Sultan mencari atau menanyakan dirinya. Namun jawab para Tamtama, bahwa Sultan
belum pernah menanyakan dirinya. Mendengar itu Jaka Tingkir sangat sedih
hatinya. Lalu pamit kepada teman-temanya berniat untuk mengembara lagi.
Didalam perjalananya Jaka Tingkir
mendapat wangsit supaya pergi ke Banyu biru. Setibanya disana Ia bertemu dengan
Ki Buyut Banyu Biru dan putra angkatnya yang bernama Mas Manca. Disana Jaka
Tingkir diangkat menjadi putra oleh Ki Buyut. Kemudian bersaudara dengan Mas
Manca.
Setelah genap enam bulan Jaka
Tingkir dan Mas Manca berguru dan mendapatkan pengajaran dari Ki Buyut Banyu
Biru, Ki Buyut memerintahkan supaya Ia segera kembali ke Demak untuk menunjukan
diri kepada Sultan. Ki Buyut juga memberikan tuntunan kepada Jaka Tingkir,
karena saat itu sedang musim penghujan Ki Buyut mengetahui kalau Sultan pasti
berada di Istana Gunung Prawata. Selain memrintahkan kepada Jaka Tingkir untuk
kesana. Ia juga memberikan syarat yang bisa membuat Jaka Tingkir ditanggapi
Kanjeng Sultan. Ki Buyut Banyu Biru memberikan Jaka Tingkir segenggam tanah
Siti Sangar, yang sesampainya disana supaya Ia masukan ke dalam mulut Kebo
Danu, yang nantinya kerbau tersebut akan mengamuk dan memporak porandakan
Istana Prawata.
Ki Buyut Banyu Biru juga
menjelaskan, tidak ada seorangpun di Demak dapat membunuh kerbau tersebut. Itu
yang menjadi sebab nantinya Sultan Demak akan memanggil Jaka Tingkir untuk
membunuh kerbau tersebut. Karena Ia satu-satunya orang yang mengetahui
kelemahan dari Kebo Danu itu, yaitu dengan mengeluarkan terlebih dahulu tanah
Siti Sangar dari mulut kerbau tersebut. Yang kemudian Kebo Danu baru dapat
ditaklukan.
Dalam keberangkatan Jaka Tingkir ke
Demak, Ki Buyut Banyu Biru memerintahkan Mas Manca dan kedua keponakanya yaitu
Ki Wuragil dan Ki Wila supaya menemani perjalanan Jaka Tingkir sampai di Demak.
Ia juga meminta Jaka Tingkir supaya ketiga orang tadi Ia jaga dan jangan sampai
berpisah denganya. Karena kelak ketiga orang tadi akan membantu dirinya menjadi
seorang yang berkuasa.
Pagi
hari Ki Buyut Banyu Biru dan murid-muridnya kemudian membuatkan rakit untuk
Jaka Tingkir dan saudara-saudaranya. Setelah semuanya siap lalu Jaka Tingkir
dan rombongannya berangkat menaiki rakit mengikuti aliran sungai Dengkeng
menuju Demak. Rupanya saat itu ada anak buah dari Ki Buyut yang menjadi
mata-mata gerombolan perampok yang sangat kuat dan ditakuti orang-orang di
Banyu Biru. Mata-mata tersebut kemudian memberi tahu kapada gerombolanya kalau
rombongan Jaka Tingkir akan melewati sungai Dengkeng untuk menuju ke Demak.
Sore hari saat melewati Kedung Srengenge mereka dihadang oleh
segerombolan penjahat yang dijuluki Baya karena dianggap Bebaya atau bahaya
bagi orang-orang yang melewati Kedung Srengenge.
Raja dari Baya tersebut bernama Bau
Reksa dan patihnya Jalu Mampang. Grombolan Baya tersebut menyerang rombongan
Jaka Tingkir sehingga terjadi perang yang sangat dahsyat dikedung tersebut.
Dalam pertarungan tersebut Jaka Tingkir terkena sabetan clurit Jalu Mampang
yang membuat dadanya sobek dan membekas sebuah sayatan. Namun Jaka Tingkir
tetap melawan dengan bringas sehingga pada akhirnya Jalu Mampang dan anak
buahnya tewas ditangan Jaka Tingkir. Sedangkan Bau Reksa takluk dan tunduk
dihadapan Mas Manca. Bau Reksa dan sisa anak buahnya akhirnya diperintahkan
Jaka Tingkir untuk membantu mendorong rakit Jaka Tingkir dan rombongan sampai
di Demak.
Sesampainya di Istana Prawata, Jaka
Tingkir melihat Sultan masih singgah didalam istana. Tanpa berpikir panjang Ia
mencari Kebo Danu disekitar Istana Prawata. Tidak butuh waktu yang lama Jaka
Tingkir mendapatkan Kebo Danu dan langsung memasukan Tanah Siti Sangar kedalam
mulutnya. Kerbau itupun mengamuk dan memporakporandakan Pesanggrahan Prawata.
Banyak orang-orang yang luka dan tewas akibat keganasan Kerbau itu.
Mendengar korban yang berjatuhan
akibat amukan Kebo Danu semakin banyak, Sultan meminta Prajurit Tamtama untuk
membunuh kerbau itu. Kerbau itu dikeroyok dan ditusuk berbagai senjata namun
tidak mempan. Amukan kerbau itu telah berlangsung hingga tiga hari tiga malam
belum ada seorangpun yang berhasil menaklukan amukan Kebo Danu. Kerbau itu
dimalam hari masuk kehutan kemudian siang harinya keluar lagi mengobrak-abrik
pesanggrahan dan memangsa orang-orang di pesanggrahan tersebut.
Setiap hari Sultan berlindung diatas
panggung pesanggrahan sambil melihat Kebo Danu mengamuk kesana kemari tanpa ada
seorangpun yang berusaha menghadapi. Sultan hanya pasrah dan berharap Kebo Danu
akan pergi dengan sendirinya dari pesanggrahan Prawata. Saat itu Jaka Tingkir
tampil berjalan melewati depan panggung dengan santai seolah-olah tak peduli
dengan keadaan yang terjadi. Sultan yang melihat Jaka Tingkir dan rombongan
kemudian memanggil abdinya yang bernama Jebad. Kemudian menyuruh Jebad supaya
menemui Jaka Tingkir dan meminta Jaka supaya menaklukan Kebo Danu. Sesuai
dengan perintah Sultan apabila Jaka Tingkir dapat menaklukan Kebo Danu maka
kesalahanya akan diampuni dan akan diterima kembali di Kesultanan Demak.
Jaka Tingkir saguh dengan perintah
Sultan. Kemudian Ia meminta kepada orang-orang disitu supaya mengepung
mengelilingi Kebo Danu. Termasuk Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila membantu
mengepung kerbau itu. Perkelahian hebatpun terjadi antara Jaka Tingkir dan Kebo
Danu. Sultan yang melihat pertempuran itu menyuruh supaya prajuritnya menabuh
gong Monggah untuk memberi semangat kepada Jaka Tingkir.
Perkelahian antara Jaka Tingkir dan
Kebo Danu berlangsung cukup lama, orang-orang yang menyaksikan saat itu
keheran-heranan. Jaka Tingkir yang berulang-ulang jatuh dan dilempar keatas
kemudian diterima dengan tanduk namun tetap terlihat trengginas meskipun
badanya penuh luka. Kemudian oleh Jaka Tingkir tanduk serta ekor dari Kebo Danu
ditangkap, lalu dihentak. Tanah Siti Sangarpun keluar dari mulutnya, kemudian
Kebo Danu ditmpeleng hingga remuk kepalanya sehingga tewas seketika,
membuat kagum serta gembira Sang Sultan
dan orang-orang yang pada saat itu menyasikanya.
Sesuai dengan janjinya Sultan Demak
menganugrahi Jaka Tingkir dengan mengembalikan kedudukanya seperti dahulu yaitu
sebagai pemimpin prajurit Tamtama Kerajaan Demak.
Jaka Tingkir dihadapan Sultan sangat
menghormati. Ia patuh terhadap segala hal yang diperintahkan Sultan Trenggana.
Setelah beberapa tahun mengabdi sebagai pemimpin prajurit Tamtama, Jaka Tingkir
dapat merubah kerajaan Demak menjadi lebih aman dan tentram sehingga membuat
pikiran Sultan tenang dan nyaman. Hal itu rupanya menarik simpati Sultan
terhadapnya. Oleh Sultan Trenggana, Jaka Tingkir akhirnya diangkat menjadi
Bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga dinikahkan dengan Ratu Mas
Cempaka, yaitu Putri Sultan Trenggana.
Dibawah pemerintahan Adiwijaya
kabupaten pajang berkembang dengan pesat, banyak kerajaan lain yang mulai
tunduk kepada kerajaan tersebut. Sepeninggal Sultan Trenggana, putranya yang
bergelar Sunan Prawoto naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang
yaitu sepupunya di Jipang panolan. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran
Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian
Arya Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal.
Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka
hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang. Sepeninggal suaminya, Ratu
Kalinyamat yang merupakan adik dari Sunan Prawoto mendesak Adiwijaya agar
menumpas Arya Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan
adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Arya Penangsang secara
langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Maka, Adiwijaya pun
mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang akan
mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah.
Sayembara
diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.
Dalam perang itu, Ki Juru Martani yaitu kakak ipar Ki Ageng Pemanahan, Ia
berhasil menyusun siasat cerdik sehingga menewaskan Arya Penangsang di tepi
Bengawan Sore.
Setelah
peristiwa tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta Demak kepada Adiwijaya.
Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai
sultan pertama.
Sultan
Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas
Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki
Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi. Sesuai perjanjian sayembara, Ki
Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki
Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan Adiwijaya menunda
penyerahan tanah Mataram.
Tahun
demi tahun perjanjian terlewati, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki
Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai
penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah
dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di
Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang.
Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi sultan usai kematian Arya
Penangsang.
Sunan
Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah
panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia
kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah
Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah
Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu
sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga,
termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun
hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng
Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap
ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan.
Sunan
Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua
kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki
Ageng tersebut. Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas
karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir
Sutawijaya
adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya.
Sepeninggal ayahnya yaitu Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya menjadi penguasa baru
di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu
setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim
Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram.
Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin
memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya
melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun
demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun
kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang
berangkat adalah Pangeran Benawa yang merupakan putra mahkota, Arya Pamalad
yang merupakan adipati Tuban, serta
Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya.
Sesampainya
di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya. Pada suatu hari
seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan
dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar
Kedaton yang merupakan putri bungsu Adiwijaya. Ayah Pabelan yang bernama
Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu
Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke
Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam
perjalanan pembuangannya ke Semarang. Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan
Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun
meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak,
namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi
tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang
dekat gunung tersebut.
Adiwijaya
menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan
Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya
sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba. Adiwijaya melanjutkan perjalanan
pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga
harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang anak buah Sutawijaya
bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya
berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya,
karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu,
Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra
tertua. Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan di
desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar